Pelajaran yang lalu telah menerangkan bahwa masalah Ma'ad itu berkaitan erat dengan masalah ruh. Artinya, seseorang yang dihidupkan setelah kematian adalah pribadinya itu sendiri yang hidup sebelumnya. Ini menjadi mungkin bila ruhnya tetap ada, meskipun tubuhnya telah hancur. Dengan kata lain, setiap manusia itu memiliki substansi (jauhar) yang nonmateri dan mandiri dari tubuhnya, dimana hakikat kemanusiaannya terkait erat dengannya. Jika tidak demikian, asumsi kehidupan yang baru bagi seseorang tidaklah logis. Karenanya, sebelum kami membahas Ma’ad, kita harus mengkaji masalah ruh itu yang akan diupayakan dalam pelajaran ini. Untuk hal ini, ada dua dalil yang bisa diajukan; dalil akal dan dalil wahyu.
Dalil Akal
Sejak dahulu, para ulama telah banyak membahas masalah ruh. Dalam Filsafat Islam, ruh yang disebut dengan istilah nafs, menjadi fokus penting, sehingga para filsuf menulis secara khusus bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah ini. Bahkan, mereka menulis kitab-kitab dan risalah-risalah tersendiri, lalu mengkritisi—dengan sekian banyak dalil—pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu merupakan aksiden ('aradh) bagi tubuh atau forma material (shurah maddiyyah) yang ada pada tubuh material. Tentunya, pembahasan luas mengenai masalah ini tidak sesuai dengan buku ini. Untuk itu, kami berusaha membahasnya secara ringkas, jelas dan padu.
Dalil Akal
Sejak dahulu, para ulama telah banyak membahas masalah ruh. Dalam Filsafat Islam, ruh yang disebut dengan istilah nafs, menjadi fokus penting, sehingga para filsuf menulis secara khusus bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah ini. Bahkan, mereka menulis kitab-kitab dan risalah-risalah tersendiri, lalu mengkritisi—dengan sekian banyak dalil—pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu merupakan aksiden ('aradh) bagi tubuh atau forma material (shurah maddiyyah) yang ada pada tubuh material. Tentunya, pembahasan luas mengenai masalah ini tidak sesuai dengan buku ini. Untuk itu, kami berusaha membahasnya secara ringkas, jelas dan padu.
Pembahasan ini menyinggung sebagian dalil-dalil akal yang akan kami mulai dari premis-premis berikut ini:
Kita menyaksikan warna kulit dan bentuk tubuh kita dengan mata kepala kita sendiri. kitapun dapat merasakan kasar-lembutnya bagian-bagian tubuh kita dengan indra sentuhan, dan kita tidak dapat mengetahui bagian dalam tubuh kita kecuali secara tidak langsung. Namun begitu, kita dapat mengetahui rasa kuatir, cinta, benci, kehendak, dan pikiran kita tanpa melalui indra. Begitu pula, kita dapat mengenal "aku" kita yang memiliki perasaan-perasaan dan berbagai keadaan tersebut tanpa menggunakan indra. Jadi, manusia itu memiliki dua macam pengetahuan; pengetahuan melalui indra dan pengetahuan tak melalui indra.
Premis lainnya ialah terjadinya kekeliruan-kekeliruan pada pengetahuan melalui indra. Maka itu, juga sangat mungkin terjadi kekeliruan pada pengetahuan macam pertama. Berbeda dengan pengetahuan macam kedua, yang tidak mengalami kekeliruan keraguan. Seseorang bisa ragu terhadap warna kulitnya; apakah senyatanya memang demikian apa yang ia lihat. Akan tetapi, ia tidak akan ragu; apakah ia itu berpikir atau tidak, menghendaki sesuatu atau tidak, dan merasa ragu atau tidak.
Premis ini dinyatakan sebagai berikut: bahwa pengetahuan hudhuri[1] itu bersentuhan langsung dengan hakikat wujud objeknya. Oleh karena itu, ia tidak mengalami kesalahan. Adapun ilmu hushuli, lantaran diperoleh melalui gambaran perseptual di benak, ia pada dasarnya bisa mengalami keraguan dan kesalahan.
Artinya, kebanyakan pengetahuan pasti manusia adalah pengetahuan hudhuri dan syuhudi, termasuk di dalamnya ialah pengetahuan kita akan jiwa (nafs), perasaan, emosi dan keadaan-keadaan jiwa lainnya. Oleh karena itu, "aku" yang mengetahui, berfikir, dan berkehendak tidak akan mengalami keraguan sedikit pun, sebagaimana keadaan atau rasa takut, cinta, benci, berfikir, dan berkehendak tidak dapat diragukan faktanya.
Dari uraian tersebut timbul satu pertanyaan: Apakah "aku" ini adalah tubuh fisikal yang terindra itu? Apakah keadaan-keadaan jiwa berlaku sebagai aksiden (aradh) bagi tubuh? Ataukah hakikatnya berbeda dengan realitas tubuh sekalipun, walaupun "aku" memiliki hubungan yang erat dengan tubuh, dimana "aku" ini banyak melakukan berbagai aktifitas melalui tubuh, dan sebagaimana ia mempengaruhi tubuh, ia pun dapat dipengaruhi olehnya?
Jadi, perdasarkan premis di atas ini, jawaban atas pertanyaan itu dapat dirumuskan secara lebih mudah. Pertama, kita mengetahui "aku" masing-masing secara hudhuri. Adapun tubuh kita ini diketahui melalui bantuan indra. Dengan demikian, "aku" (nafs atau ruh) bukanlah tubuh.
Kedua, "aku" adalah hakikat yang tetap dan utuh selama puluhan tahun dengan sifat kesatuan dan identitas dirinya sendiri. Kesatuan dan identitasnya dapat diketahui melalui pengetahuan hudhuri yang tidak akan bisa keliru. Adapun bagian-bagian tubuh mengalami perubahan dan pergantian berulang kali, sehingga ia tidak mempunyai standar kesatuan hakikatnya di antara bagian-bagiannya yang terdahulu dan yang baru.
Ketiga, sesunguhnya "aku" ini bersifat sederhana (tak tersusun) yang tidak mungkin dapat dipecah. Misalnya, kita tidak dapat memecah "aku" menjadi dua bagian. Ini berbeda dengan anggota tubuh yang berbilang dan dapat dipecah.
Keempat, mengingat bahwa seluruh keadaan jiwa seperti perasaan, kehendak dan selainnya itu tidak memiliki ciri-ciri dasar materi, yakni ekstensi dan keterpecahan, maka kita tidak dapat menganggap hal-hal yang nonmateri itu sebagai aksiden (aradh) bagi materi (tubuh). Oleh karena itu, subyek hal-hal nonmateri itu adalah substansi (jauhar) yang nonmateri (mujarrad).[2]
Di antara dalil-dalil yang dapat meyakinkan seseorang terhadap keberadaan, kemandirian, keutuhan ruh setelah kematiannya, adalah mimpi benar. Sebagian orang yang telah meninggal dapat memberikan sebagian informasi yang benar kepada orang yang sedang tidur. Dalil lainnya ialah cara menghadirkan ruh yang diiringi dengan bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan.
Demikian pula, kita dapat membuktikan kenonmaterian ruh itu melalui karomah-karomah para wali Allah, bahkan bisa juga dengan sebagian perbuatan petapa, yogi dan semacamnya. Tentunya, studi mengenai masalah ini memerlukan buku tersendiri.
Dalil Wahyu
Al-Qur’an memandang bahwa ruh manusia itu ada.Pandangan qur’anik ini tidak mungkin dapat diragukan. Ruh adalah hakikat yang dinisbatkan kepada Allah SWT lantaran begitu mulia dan agungnya. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia, Al-Qur’an menyatakan, “Dan ia meniupkan ke dalamnya dari ruh-Nya.” (QS. As-Sajdah: 9)
Hal ini tidaklah berarti—wal'iyadzu billah—bahwa ada sesuatu yang terpisah dari dzat Allah lalu berpindah ke dalam tubuh manusia.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai penciptaan Adam, Allah berfirman, “Dan aku tiupkan ke dalamnya dari ruh-Ku." (QS. Al-Hijir: 29, Ash-Shad: 72)
Begitu pula, dari bebarapa ayat lainnya kita dapat memahami bahwa ruh itu bukanlah tubuh, bukan pula sebagai sifat-sifat dasar dan ciri-ciri khasnya, dan sesunguhnya ruh itu—tanpa raga—memiliki potensi untuk tetap kekal. Di antara ayat-ayat tersebut adalah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Qur’an berdasarkan ucapan orang-orang kafir, "Apakah kalau kami sesat di muka bumi ini kami akan diciptakan kembali?" (QS. As-Sajdah: 10)
Yakni, manakala bagian-bagian tubuh kami melebur di dalam tanah. Al-Qur’an menjawab, "Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diberikan tugas untuk itu pada kalian kemuian setelah itu kalian dikembalikan pada Tuhan kalian." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, standar hakikat manusia itu adalah ruhnya yang dicabut oleh Malaikat Maut dan senantiasa kekal, bukan bagian-bagian tubuh yang mengalami kehancuran dan melebur di dalam tanah.
Di tempat lain, Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa seseorang ketika matinya dan memegang jiwa seseorang yang belum mati diwaktu tidurnya, maka Ia menahan jiwa orang yang telah Ia tetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sa-mpai pada waktu yang ditentukan." (QS. Az-Zumar: 42)
Sehubungan dengan kematian orang-orang yang zalim, Allah SWT berfirman, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu.'" (QS. Al-An’am: 93)
Dari ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain, kita dapat memahami bahwa jiwa setiap manusia itu identik dengan suatu hakikat yang dicabut oleh Malaikat Maut atau malaikat-malaikat yang diberikan kekuasaan untuk mencabut ruh, dan ketiadaan tubuh itu tidak ada pengaruhnya terhadap kekalnya ruh dan satunya jiwa manusia.
Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas adalah:
Pertama, di dalam diri manusia terdapat suatu hakikat yang dinamakan ruh.
Kedua, sesungguhnya ruh manusia itu dapat kekal dan mandiri dari tubuhnya. Ruh bukan layaknya aksiden dan forma dari materi, yang akan sirna ketika subjek yang menampungnya itu hancur.
Ketiga, sesungguhnya hakikat setiap orang itu terletak pada ruhnya. Dengan ungkapan yang lain, hakikat setiap manusia itu adalah ruhnya. Adapun tubuh manusia hanya berperan sebagai alat bagi ruh.[]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar