Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula.

Sabtu, 08 Desember 2007

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Tidak ada komentar
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allahmeniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Akutiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakasatau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakandari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalamdirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukanpara sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung(al-qalb).RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakanjasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alamciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahlisufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahidan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkankepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelahditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh didalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baikdan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia danterpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumberakhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagijiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani(binatang) dan jiwa insani.Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yangorganis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwahewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh danmelahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yangkecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyaikelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah ataual-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,yang merupakan hakekat atau pribadi manusia.

Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifatyang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusiamempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat danmemperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itusendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yangmenyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yangdemikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifattercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencelamanusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalaiberbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Akubersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifatyang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafsal-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwayang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagidiridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telahmenjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telahmelakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yangtelah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telahdijamin Allah langsung masuk surga.Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan denganruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia danterpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allahsampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allahmengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karenaitu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.HATI SUKMA (QALB)Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kitamemakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalahsegumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak didada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objekkajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteranyang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,bahkan bangkainya.Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yanghalus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yangada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yangdisebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumberpengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allahberfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakanmemahaminya." (QS. 7:1-79).Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itujiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbedapendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi parafilsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuanakal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melaluipengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-samamerupakan daya berpikir.Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadahatau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-halyang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersihdari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moraldengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang terceladengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapatmenjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapaipengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialahmoralitas.Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpujiadalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berartiketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luarhanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnyakehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas daripenyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnyaberkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani--hati yang kotor.Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan olehhasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilahyang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnyaberuntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilahorang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalahpantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jikacermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan darituntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nuranibersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dariAllah Swt.Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya padadada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadapdunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitandengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memilikiAllah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul darihati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapilewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengannafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalumenggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaanmanusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nuranidalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani. Wallahu A'lamubish-Shawab.

Tidak ada komentar :